Sabtu, 04 April 2015

Bahasa Ibu (oleh Harry Santosa)

Bahasa Ibu Renungan Pendidikan #43 ‪#‎bahasaibu‬ Mungkin banyak diantara kita sering mengabaikan pentingnya bahasa ibu (mother tounge) dalam pendidikan anak usia dini. Entah mengapa kita selalu terjebak kepada penjejalan aspek kognitif seperti calistung dan bahasa asing juga pengajaran kognitif lainnya yang belum waktunya pada anak anak usia dini. Bahasa Ibu adalah bahasa dimana ayah ibu nya sangat fasih dan baik dalam mengekspresikan fikiran dan perasaan baik verbal maupun non verbal melalui suatu bahasa. Tanpa bahasa ibu yang baik, fitrah keimanan, fitrah belajar dan fitrah bakat sulit untuk tumbuh. Fitrah keimanan dalam wujud sensitifitas nurani kebenaran dan ekpresi jiwa bahkan tidak terbangun tanpa bahasa ibu. Fitrah belajar dalam wujud ekpresi gagasan dan nalar bahkan menjadi terhambat tanpa bahasa ibu. Fitrah bakat dalam wujud ekspresi sifat diri dan pilihan aktifitas bahkan menjadi tertutup tanpa bahasa ibu. Sebuah kisah berikut barangkali bisa menyadarkan kita. Pada tahun 1970, di California, seorang ibu berusia 50 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah bertengkar dengan suaminya yang berusia 70 tahun. Ia membawa anaknya, gadis berusia 13 tahun. Mereka datang meminta bantuan pada petugas kesejahteraan sosial. Tetapi petugas melihat hal aneh pada anak gadis yang dibawanya. Perilakunya tidak menunjukkan anak yang normal. Tubuhnya bungkuk, kurus kering, kotor, dan menyedihkan. Sepanjang saat ia lidak henti-henlinya meludah. Tidak satu saat pun terdengar bicara. Petugas mengira gadis ini telah dianiaya ibunya. Polisi dipanggil, dan kedua orang luanya harus berurusan dengan pengadilan. Pada hari sidang, ayah gadis itu membunuh dirinya dengan pistol. la meninggalkan catatan, "Dunia lidak akan pernah mengerti." Mungkin ia benar. Dunia tidak akan mengerti bagaimana mungkin seorang ayah dapat membenci anaknya begitu sangat. Penyelidikan kemudian mengungkapkan bahwa Genie demikian nama samaran gadis tersebut, melewali masa kecilnya di neraka yang dibuat ayahnya sendiri. Sejak kecilnya ayahnya mengikat Genie dalam sebuah tempat duduk yang ketat. Sepanjang hari ia tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia ditempatkan dalam semacam kurungan dari besi. Seringkali ia kelaparan. Tetapi kalau Genie menangis, ayahnya memukulinya. Si ayah tidak pernah bicara, Si ibu terlalu buta untuk mengurusnya, Kakak laki-laki Genielah akhirnya yang berusaha memberi makan dan minum. Itupun sesuai dengan perintah ayahnya, harus dilakukan diam-diam, tanpa mengeluarkan suara. Genie tidak pernah mendengar orang bercakap-cakap. Kakaknya dan ibunya sering mengobrol dengan berbisik, karena takut pada ayahnya. Ketika Genie masuk rumah sakit, ia tidak diketahui apakah dapat berbicara atau mengerti pembicaraan orang. Ia membisu. Kepandaiannya tidak berbeda dengan anak yang berusia satu tahun. Dunia mungkin tidak akan pernah mengerti. Tetapi ditemukannya Genie telah mengundang rasa ingin tahu para psikolog, linguis, neurolog, dan mereka yang mempelajari perkembangan otak manusia. Genie adalah contoh yang langka tentang seorang anak manusia yang sejak kecil hampir tidak pernah memperoleh kesempatan berkomunikasi. Penemuan Genie menarik perhatian. Genie tidak dibekali keterampilan mengungkapkan pikirannya dalam benluk lambang-lambang yang dipahami orang lain. Apakah kurangnya keterampilan ini menghambat perkembangan mental lainnya? Apakah sel-sel otak mengalami kelambatan pertumbuhan? Apakah seluruh sistem kognitifnya menjadi lumpuh? Yang jelas fitrah Genie telah dirusak akibat komunikasi yang buruk, bahasa ibu yang tidak utuh sama sekali. Tentu saja kita tak seburuk kisah di atas. Genie adalah contoh ekstrim. Namun tanpa sadar kitapun mirip ayah Genie, karena sering menciptakan "kerangkeng" bagi anak anak kita dengan sesuatu yang belum waktunya sementara mengabaikan sesuatu yang penting pada usianya. Kita sering membuat kesempatan komunikasi menjadi terbatas karena berbagai obsesi dan alasan sehingga bahasa ibu tidak tumbuh sempurna. Banyak orangtua dan guru merasa tidak mendidik apapun jika tidak mengajarkan atau mengkursuskan anak anaknya untuk calistung, jika tidak memboarding anak sejak dini, jika tidak memberi les untuk belajar berbagai bahasa asing padahal bahasa ibunya belum tuntas, padahal banyak kisah inspiratif sastrawi yang belum dibacakan dan diceritakan, dstnya. Riset membuktikan bahwa anak yang belajar bahasa asing sejak dini umumnya mengalami gejala bingung bahasa dan mental block, yaitu kegagalan mengekspresikan gagasan dan fikiran, yang berakibat pada kejiwaan dan relasi sosial yang buruk. Lihatlah Rasulullah SAW, walaupun beliau butahuruf, namun bahasa ibu nya telah fasih, utuh sempurna sepanjang masa balitanya. Maka sejarah mencatat bagaimana beliau dikenal sebagai manusia yang halus budi dan tutur katanya, sangat memahami kejiwaan seseorang melalui psikologi komunikasi baik, memiliki kemampuan yang hebat dalam mengekspresikan perasaan dan fikiran dstnya. Bahasa Ibu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Kegagalan mengekpresikan gagasan dan perasaan, kegagalan menangkap makna dari ekpresi seseorang baik tutur maupun gestur dstnya akan sangat berpengaruh pada keseluruhan konstruksi kejiwaan dan fitrah anak anak kita. Konstruksi bahasa ibu yang buruk pada anak anak akan berpengaruh pada perkembangan jiwa, kesehatan fisik, relasi sosial pada tahap usia selanjutnya. Jangan remehkan keindahan bahasa dan sastra dalam menumbuhkan fitrah anak anak kita dan bahkan memerdekakan peradaban dunia. Tanpa sensitifitas bahasa ibu, lalu bagaimana memahami, menghayati dan mengamalkan pesan pesan langit serta menangkap getar getar cinta Ilahi dalam kehidupan? Tanpa sensitifitas bahasa ibu, maka tidak terbayangkan bagaimana mampu menghayati bahkan mencintai alQuran dengan sastra yang begitu tinggi? Tanpa sensitifitas bahasa ibu, maka sulit dibayangkan bagaimana sensitif terhadap permasalahan ummat dan peradaban. Pantas saja banyak yang tahu kebenaran namun gagal secara sensitif menghayati dan membela kebenaran. Salam Pendidikan Peradaban ‪#‎pendidikanberbasispotensi‬ ‪#‎pendidikanberbasisfitrah‬ dan akhlak source https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa/posts/10206341880416000 [6:18 04/04/2015] ‪ Nabi Muhammad diajarkan bahasa ibu oleh ibu susuannya yg bernama bunda halimah binti abi dzuaib hanya 4 tahun ya? kemudian kembali ke keluarga diusia 4 th yg notabene bahasa arabnya tidak sefasih tempat beliau dibesarkan selama 4 th tersebut. Itu artinya beliau belajar bahasa selain bahasa ibu diusia dini... dan tidak ada gejala mental block yg dialami beliau, jadi bolehkah kita mengajarkan bahasa asing pada usia tersebut? Bukankah ada juga penelitian yg menyebutkan golden age adalah waktu yg tepat utk mengajarkan segala hal? Dimana diusia tersebut justru otak anak berkembang hampir 80% sampai usia 6 tahun...bukankah jadi lebih sulit mengajarkan anak usia 3 th daripada usia 2 th, dan lebih sulit mengajarkan anak usia 7 tahun dari usia balita? Seperti halnya bunda halimah mengajarkan segala hal kepada nabi Muhammad justru diusia yg relatif muda shg usia 2 th beliau sudah diajarkan menggembala domba? [6:19 04/04/2015] ‬: [4/4 03.50] Harry Santosa: bunda Fidyah yang baik, pertanyaan yang bagus 1. "bahasa Ibu" Rasulullah SAW adalah bahasa Arab dengan dialek suku Quraisy, Halimatus Sa'diah adalah penutur asli dan fasih bahasa Arab, bukan bahasa yang lain/asing, yang bukan "bahasa ibu" Rasulullah SAW. Tidak ada perbedaan bahasa antara Bani Sa'diah dan Quraisy, bahkan lebih fasih. Jadi bahasa Halimah bukanlah bahasa asing. Diantara tujuan menitipkan Nabi Muhammad kecil adalah bukan hanya ASI, tetapi juga kemurnian bahasa ibu, kearifan lokal yang masih terjaga, alam perdesaan yang sehat (belajar bersama alam), kepemimpinan (menggembala kambing), ketulusan warga desa. 2. Golden Age 0-5 tahun, tidak memiliki landasan Syar'i maupun Ilmiah. Hipotesa Golden Age berangkat dari asumsi adanya Synanpsis (sambungan/relasi) antar syaraf, yang apabila tidak segera "diisi" banyak banyak maka akan segera meluruh dan hilang kesempatan. Namun, penelitian lebih mutakhir dari beberapa universitas ternama, menunjukkan Synanpsis yg dianggap meluruh ternyata tumbuh dan meluruh lagi di usia setelah 5 tahun. Anak2 yang menjalani pelatihan Baby Genius, pada program Glen Doman, misalnya "mengajarkan bayi matematika" atau "mengajarkan bayi membaca" sejak 8 bulan, ternyata tidak banyak berbeda dengan anak yang baru belajar membaca di usia 8 tahun. Artinya, makin cepat bukan berarti makin baik. Anak yang dikenalkan gambar pesawat dan namanya sejak usia 8 bulan, ternyata melupakan semuanya ketika berusia 10 tahun. Ingat bahwa mampu belum tentu perlu, Bahkan ada riset yang konon bayi bisa belajar kalkulus sejak dalam kandungan. Pertanyaannya, apakah perlu? Mengapa anak yang belajar membaca sejak usia 8 bulan tidak banyak bedanya dengan anak yang baru belajar membaca di usia 8 tahun, karena yang belajar lebih cepat sejak usia 8 bulan, tidak bisa banyak memanfaatkan kemampuan membacanya sampai usia 7-8 tahun dimana di usia ini baru bisa mengikat makna bacaannya [4/4 03.52] Harry Santosa: maka dalam menumbuhkan fitrah tidak berlaku kaidah makin cepat makin baik, tetapi makin tepat makin baik [4/4 03.54] Harry Santosa: menggembala kambing bukan aspek kognitif, ini aspek psikomotorik atau senso motorik. Nah di usia 0-6 yang perlu dikembangkan adalah aspek senso motorik. Riset membuktikan kecerdesan balita meningkat bukan dijejalkan "leher ke atas" tetapi digerakkan aktif dari "leher ke bawah" [4/4 03.59] Harry Santosa: Memang ada beberapa anak yang jenius (bright children atau gifted), yang sejak kecil mampu menguasai segala hal, namun ini kekecualian tidak setiap anak punya keunggulan IQ. Anak2 yang terlalu cerdas dengan IQ di atas 140 bahkan digolongkan sbg special needs, perlu terapi dan pendampingan khusus. AlQuran bahkan menyebut keturunan Ibrahim AS dari Ismail AS sebagai Ghulamun Halim (kecerdasan non IQ), ini khas bangsa Arab. Sementara keturunan Ibrahim AS dari Ishaq sebagai Ghulamun 'Alim (kecerdasan otak IQ), ini khas bangsa Israel. Semoga makin mencerahkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar