Jumat, 13 Maret 2015

Qaulan Sadiidaa untuk anak kita

**Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita**
Oleh: Salim A. Fillah

Remaja. Pernah saya menelusur,
adakah kata itu dalam peristilahan
agama kita?
Ternyata jawabnya tidak. Kita selama
ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk
menandai suatu masa dalam
perkembangan manusia. Di sana
terjadi guncangan, pencarian jatidiri,
dan peralihan dari kanak-kanak
menjadi dewasa. Terhadap masa-masa
itu, orang memberi permakluman atas
berbagai perilaku sang remaja. Kata
kita, “Wajar lah masih remaja!”
Jika tak berkait dengan taklif agama,
mungkin permakluman itu tak jadi
perkara. Masalahnya, bukankah ‘aqil
dan baligh menandai batas sempurna
antara seorang anak yang belum ditulis
‘amal dosanya dengan orang dewasa
yang punya tanggungjawab terhadap
perintah dan larangan, juga wajib,
mubah, dan haram? Batas itu tidak
memberi waktu peralihan, apalagi
berlama-lama dengan manisnya istilah
remaja. Begitu penanda baligh muncul,
maka dia bertanggungjawab penuh
atas segala perbuatannya; ‘amal
shalihnya berpahala, ‘amal salahnya
berdosa.
Isma’il ‘alaihissalaam, adalah sebuah
gambaran bagi kita tentang sosok
generasi pelanjut yang berbakti, shalih,
taat kepada Allah dan memenuhi
tanggungjawab penuh sebagai seorang
yang dewasa sejak balighnya. Masa
remaja dalam artian terguncang,
mencoba itu-ini mencari jati diri, dan
masa peralihan yang perlu banyak
permakluman tak pernah dialaminya.
Ia teguh, kokoh, dan terbentuk
karakternya sejak mula. Mengapa?
Agaknya Allah telah bukakan rahasia
itu dalam firmanNya:
Dan hendaklah takut orang-orang yang
meninggalkan teturunan di belakang
mereka dalam keadaan lemah yang
senantiasa mereka khawatiri. Maka dari
itu hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah mereka
mengatakan perkataan yang lurus
benar. (QSnAn Nisaa’ 9)
Ya. Salah satu pinta yang sering
diulang Ibrahim dalam doa-doanya
adalah mohon agar diberi lisan yang
shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang
agaknya ia pergunakan juga untuk
membesarkan putera-puteranya
sehingga mereka menjadi anak-anak
yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia
wataknya, dan mampu melakukan hal-
hal besar bagi ummat dan agama.
Nah, mari sejenak kita renungkan tiap
kata yang keluar dari lisan dan
didengar oleh anak-anak kita.
Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai
qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus
benar, sebagaimana diamanatkan oleh
ayat kesembilan Surat An Nisaa’?
Ataukah selama ini dalam
membesarkan mereka kita hanya
berprinsip “asal tidak menangis”.
Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga
ilmu perilaku menegaskan bahwa
menangis itu penting.
Kali ini, izinkan saya secara acak
memungut contoh misal pola asuh
yang perlu kita tataulang
redaksionalnya. Misalnya ketika anak
tak mau ditinggal pergi ayah atau
ibunya, padahal si orangtua harus
menghadiri acara yang tidak
memungkinkan untuk mengajak sang
putera. Jika kitalah sang orangtua, apa
yang kita lakukan untuk membuat
rencana keberangkatan kita berhasil
tanpa menyakiti dan mengecewakan
buah hati kita?
Saya melihat, kebanyakan kita terjebak
prinsip “asal tidak menangis” tadi
dalam hal ini. Kita menyangka tidak
menangis berarti buah hati kita “tidak
apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti
juga lupa.” Betulkah demikian? Agar
anak tak menangis saat ditinggal pergi,
biasanya anak diselimur, dilenabuaikan
oleh pembantu, nenek, atau bibinya
dengan diajak melihat –umpamanya-
ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu
ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak
pun tertarik, ikut menonton sang ayam.
Lalu diam-diam kita pergi
meninggalkannya.
Si kecil memang tidak menangis. Dia
diam dan seolah suka-suka saja. Tapi
di dalam jiwanya, ia telah menyimpan
sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu.
Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi
malah disuruh lihat ayam, agar bisa
ditinggal pergi diam-diam. Kalau
begitu, menipu dan mengkhianati itu
tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar
aku yang akan melakukannya!”
Betapa, meskipun dia menangis,
alangkah lebih baiknya kita berpamitan
baik-baik padanya. Kita bisa mencium
keningnya penuh kasih, mendoakan
keberkahan di telinganya, dan berjanji
akan segera pulang setelah urusan
selesai insyaallah. Meski menangis,
anak kita akan belajar bahwa kita
pamit  [dipotong oleh WhatsApp]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar