Sabtu, 21 Maret 2015

Mengajarkan TANGGUNGJAWAB dengan Kegiatan Bermain

Mengajarkan TANGGUNGJAWAB dengan Kegiatan Bermain
Narasumber : Perwitasari, Psi
(Manager Elly Risman Parenting Institute, Trainer dan Psikolog Senior Yayasan Kita dan Buah Hati)

Emang dasar masanya, punya anak kecil bikin rumah jadi super berantakan. 

Biarin aja lah, bebaskan anak mengeksplor apa yang sedang menjadi minatnya. Jangan kekang kreatifitasnya. Rumah jadi kayak kapal pecah udah resiko.. urut dadaaaa ajaaa.. sabaaaar.. ��

Benarkah demikian?

Saat bermain, selain untuk mengeksplor kreatifitasnya, anak kita juga punya hak dan kesempatan untuk diajarkan mengenai bertanggungjawab lho..

Sejak usia 2 tahun, anak kita sudah bisa diajak bicara bahwa setelah bermain ia perlu membereskan lagi mainannya dan menyimpan di tempat semula. Tentu dengan cara yang menyenangkan.��

Untuk membantu memudahkan anak kita belajar bertanggung jawab melalui kegiatan bermain, berikut tips-tipsnya :

1⃣Siapkan sarana yang memudahkan anak sesuai usia. 
Mis. Ada sapu kecil untuk anak kita bersih-bersih, box mainan yang kecil (mainan perlu dikelompokkan dan diletakkan dalam beberapa box, sehingga anak tidak menumpahkan semua mainannya yang kemudian bisa menyulitkan saat ia merapikan)

2⃣Libatkan anak pada aktivitas "beberes" sehari-hari dengan suasana riang. 
Mis sambil bernyanyi : "bersih-bersih ayo bersih-bersih, yang bersih-bersih dicium bunda. rapi-rapi ayo rapi-rapi. Yang rapi-rapi di sayang Allah"

3⃣Kenalkan sejak dini kosakata bertanggung jawab lewat perbuatan
Mis : saat merapikan mainan kita katakan : "Ayo kita bertanggung jawab merapikan kembali mainannya setelah digunakan"

4⃣Gunakan metode bermain����
Mis : ayo lomba memasukkan mainan dalam box. Ajak anak bermain peran menjadi bunda yang sedang beberes

5⃣Beri senyuman manis dan ajak anak menikmati hasil "kerja" nya
Mis saat sudah rapi kita katakan : "wah senangnya rumah kita sdh rapi kembali. Terima kasih sudah bertanggung jawab merapikan mainan"

6⃣Bila anak tidak segera merapikan, tahan diri dari godaan untuk merapikan sendiri, panjangin sumbunya, sabaaaaaaarrrr ������
Karena anak nanti mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan tugasnya. Bersabarlah. Beri kesempatan ananda untuk melakukan sesuai "irama" nya sendiri. 
〰〰〰〰〰〰
Silakan share tips ini pada Ayah Bunda atau Calon Ayah Bunda yang lain. Semoga bermanfaat.

Oleh Tim Yayasan Kita dan Buah Hati
Sabtu, 21 Maret 2015
Grup preschool online
Achie astriany

Jumat, 13 Maret 2015

Qaulan Sadiidaa untuk anak kita

**Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita**
Oleh: Salim A. Fillah

Remaja. Pernah saya menelusur,
adakah kata itu dalam peristilahan
agama kita?
Ternyata jawabnya tidak. Kita selama
ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk
menandai suatu masa dalam
perkembangan manusia. Di sana
terjadi guncangan, pencarian jatidiri,
dan peralihan dari kanak-kanak
menjadi dewasa. Terhadap masa-masa
itu, orang memberi permakluman atas
berbagai perilaku sang remaja. Kata
kita, “Wajar lah masih remaja!”
Jika tak berkait dengan taklif agama,
mungkin permakluman itu tak jadi
perkara. Masalahnya, bukankah ‘aqil
dan baligh menandai batas sempurna
antara seorang anak yang belum ditulis
‘amal dosanya dengan orang dewasa
yang punya tanggungjawab terhadap
perintah dan larangan, juga wajib,
mubah, dan haram? Batas itu tidak
memberi waktu peralihan, apalagi
berlama-lama dengan manisnya istilah
remaja. Begitu penanda baligh muncul,
maka dia bertanggungjawab penuh
atas segala perbuatannya; ‘amal
shalihnya berpahala, ‘amal salahnya
berdosa.
Isma’il ‘alaihissalaam, adalah sebuah
gambaran bagi kita tentang sosok
generasi pelanjut yang berbakti, shalih,
taat kepada Allah dan memenuhi
tanggungjawab penuh sebagai seorang
yang dewasa sejak balighnya. Masa
remaja dalam artian terguncang,
mencoba itu-ini mencari jati diri, dan
masa peralihan yang perlu banyak
permakluman tak pernah dialaminya.
Ia teguh, kokoh, dan terbentuk
karakternya sejak mula. Mengapa?
Agaknya Allah telah bukakan rahasia
itu dalam firmanNya:
Dan hendaklah takut orang-orang yang
meninggalkan teturunan di belakang
mereka dalam keadaan lemah yang
senantiasa mereka khawatiri. Maka dari
itu hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah mereka
mengatakan perkataan yang lurus
benar. (QSnAn Nisaa’ 9)
Ya. Salah satu pinta yang sering
diulang Ibrahim dalam doa-doanya
adalah mohon agar diberi lisan yang
shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang
agaknya ia pergunakan juga untuk
membesarkan putera-puteranya
sehingga mereka menjadi anak-anak
yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia
wataknya, dan mampu melakukan hal-
hal besar bagi ummat dan agama.
Nah, mari sejenak kita renungkan tiap
kata yang keluar dari lisan dan
didengar oleh anak-anak kita.
Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai
qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus
benar, sebagaimana diamanatkan oleh
ayat kesembilan Surat An Nisaa’?
Ataukah selama ini dalam
membesarkan mereka kita hanya
berprinsip “asal tidak menangis”.
Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga
ilmu perilaku menegaskan bahwa
menangis itu penting.
Kali ini, izinkan saya secara acak
memungut contoh misal pola asuh
yang perlu kita tataulang
redaksionalnya. Misalnya ketika anak
tak mau ditinggal pergi ayah atau
ibunya, padahal si orangtua harus
menghadiri acara yang tidak
memungkinkan untuk mengajak sang
putera. Jika kitalah sang orangtua, apa
yang kita lakukan untuk membuat
rencana keberangkatan kita berhasil
tanpa menyakiti dan mengecewakan
buah hati kita?
Saya melihat, kebanyakan kita terjebak
prinsip “asal tidak menangis” tadi
dalam hal ini. Kita menyangka tidak
menangis berarti buah hati kita “tidak
apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti
juga lupa.” Betulkah demikian? Agar
anak tak menangis saat ditinggal pergi,
biasanya anak diselimur, dilenabuaikan
oleh pembantu, nenek, atau bibinya
dengan diajak melihat –umpamanya-
ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu
ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak
pun tertarik, ikut menonton sang ayam.
Lalu diam-diam kita pergi
meninggalkannya.
Si kecil memang tidak menangis. Dia
diam dan seolah suka-suka saja. Tapi
di dalam jiwanya, ia telah menyimpan
sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu.
Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi
malah disuruh lihat ayam, agar bisa
ditinggal pergi diam-diam. Kalau
begitu, menipu dan mengkhianati itu
tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar
aku yang akan melakukannya!”
Betapa, meskipun dia menangis,
alangkah lebih baiknya kita berpamitan
baik-baik padanya. Kita bisa mencium
keningnya penuh kasih, mendoakan
keberkahan di telinganya, dan berjanji
akan segera pulang setelah urusan
selesai insyaallah. Meski menangis,
anak kita akan belajar bahwa kita
pamit  [dipotong oleh WhatsApp]

10 Keterampilan Anak yang Perlu Diasah

10 Keterampilan yang Perlu Anak Asah

Ari Ahmadi, psikolog dari Essa Consulting, menekankan pentingnya menguasai keterampilan dasar akademis yang tepat, sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak. “Jika anak dipaksakan belajar dengan cara dan di waktu yang tidak tepat, bisa jadi ia belum siap, jadi cepat jenuh, tidak percaya diri, dan menjadi pribadi yang kaku.”

Ia mencontohkan metode belajar calistung (baca-tulis-hitung) di usia dini. “Belajar calistung di usia dini harusnya mengajarkan konsep, bukan cara menulis atau praktek berhitung. Misalnya, konsep letak, bentuk, ukuran, dan volume. Jadi, anak diajari kanan dan kiri, bentuk persegi atau lingkaran, besar dan kecil, serta banyak atau sedikit.”

Belajar keterampilan yang tepat di tahap perkembangan yang tepat akan membantu anak memupuk minat terhadap bidang akademis. Selain fisiknya yang lebih mendukung, ia juga akan memiliki modal kognitif yang membantunya lebih mudah menguasai keterampilan.

Apakah ada keterampilan lain yang dianggap penting untuk anak? World Health Organization (WHO) menyebutkan, ada 10 keterampilan hidup utama (core life skills) yang perlu dimiliki seseorang untuk mampu menjawab tantangan hidup sehari-hari, yaitu:
- Problem solving
- Critical thinking
- Effective sommunication
- Decision-making
- Creative thinking
- Interpersonal relationship
- Self-awareness building
- Empathy
- Coping with stress and emotions

Seluruh keterampilan hidup di atas saling berhubungan dan mendukung satu sama lain. Seorang anak yang memiliki self-awareness, self-esteem, dan self-confidence yang baik akan mampu menelaah kekuatan dan kelemahan pada dirinya.

Sehingga, ia akan mampu mengenali kesempatan yang terdapat di hadapannya, sekaligus menyiapkan dirinya untuk menghadapi ancaman dari luar. Pada akhirnya, anak bisa mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dalam lingkungan dan menemukan pemecahan masalah yang tepat. Jadi, kenali keterampilan yang dimiliki anak, lalu kembangkan secara optimal.

sumber : grup whatsapp

Sabtu, 07 Maret 2015

memulai home education

"Tekhnik Memulai Home Education"

Disarikan oleh:bunda Irene, dr Group Home Education Berbasis Potensi dan Akhlak Nasional
3 Desember 2014

Subject Matter Expert (SME):
Bunda Septi Peni Wulandani (founder IIP sekaligus praktisi HE sejak 1996)

------------------------------

Assalamu'alaikum wr.wb. ayah bunda yg dirahmati Allah s.w.t

Alhamdulillah, kali ini kita dapat bertemu kembali, untuk belajar bersama-sama membangun pribadi-pribadi yang indah masa depannya. Pada pertemuan  yang lalu, kita telah membahas mengenai bagaimana memulai melakukan home education. Tema kali ini adalah menyambung tema sebelumnya, yaitu membahas teknik untuk memulai home education.

Sebelumnya kita pahami dulu Home Education (HE) adalah kewajiban syar'i kita sbg orangtua.
Bahkan menurut saya justru jadi ilmu wajib bagi para calon ibu dan calon bapak.

Home Education itu dimulai dari satu pemahaman para fasilitator utamanya yaitu kita sebagai orangtuanya.
Beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk memulainya, adalah:

1. Berdiskusi secara rutin antara anda dan pasangan tentang konsep HE. Tentukan jadwal khusus untuk anda bersungguh-sungguh membahas hal ini.

--> Ada pertanyaan dari seorang bunda, dimana hampir kebanyakan para ayah waktunya tersita utk bekerja.
Bagaimana agar para ayah bisa optimal dalam menerapkan HE bersama?
* Nah, ini adalah tantangan yg jamak dialami setiap keluarga, maka tugas kita mengubahnya menjadi tidak biasa di grup ini.
Kuncinya "komunikasi"

2. Langkah jitu adalah mengajak para ayah masuk di grup ini. Kemudian lanjutkan dengan minta investasi waktu para ayah untuk mendiskusikan  ttg pendidikan anak. Laksanakan "family strategic planning" setiap satu tahun sekali. Kemudian di breakdown dg family meeting setiap sepekan sekali. Kuncinya adalah "ayah, ketika anda bisa professional melakukan pekerjaan kantor, maka mulailah dengan sangat professional di perusahaan yg dititipkan Bos Besar kita di pundakmu, karena ini pertanggungjawaban dunia akherat.

--> HE secara otomatis membutuhkan kuantitas waktu yang lebih intens, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana hal ini bisa dilakukan oleh orang tua yg single parent?
* Siapa bilang single parent tidak bisa mendidik anak dengan baik? Provokatif ya judulnya ��
Saya (bunda Septi, pen.) blm berpengalaman untuk single parent ini, tetapi saya sejak 8 th dididik oleh seorang ibu yang single parent. Beliau selalu menyempatkan ngobrol dengan kami setiap hari, di sela-sela kesibukannya bekerja. Menularkan value dengan baik. Kemudian beliau mencarikan mentor kami saat aqil baligh kebanyakan adalah sosok ayah. Untuk keseimbangan katanya, karena kami tidak punya ayah.
Di saat ibu libur bekerja pasti kami diajak jalan-jalan keliling kota. Meski hanya jalan kaki, tapi rasañya bahagia. Jadi sebenarnya yang terpenting kehadiran fisik kita harus berbarengan dengan kehadiran ruh, hati dan pikiran.
Karena banyak orangtua yang lengkap tapi anaknya merasa tidak punya orangtua. Secara fisik kita hadir, tapi pikiran dan hati kita entah kemana.

3. Seringlah belajar bersama dengan pasangan kita tentang HE, baik dengan silaturahim, ikut seminar, bedah buku dll kemudian segera tentukan apa hal-hal baik yg bisa segera kita terapkan di keluarga kita.

--> HE secara ideal bisa dilakukan dengan saling support suami dan istri.
Didalam penerapan HE ini, adakalanya keluarga dalam satu rumah tidak hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Tapi ada nenek, kakek, atau tante. Bagaimana kita menyikapinya?
* Para bunda sayang, perkuat terlebih dahulu konsep pendidikan anak yg disepakati antara suami dan istri. Menurut pengalaman saya 19 th mendidik anak-anak, selama kita kuat maka om, tante, nenek akan diam. Tetapi bila kita tampak tidak yakin, maka orang lain akan ikut campur tangan.
Kuncinya selama Allah dan Rasulnya tidak murka, silakan terus jalan dengan keyakinan anda.

4. Berpeganglah teguh pada Al Quran dan Hadist sebagai acuan utama kita mendidik anak. Yang lain hanya jadikan referensi, jangan justru membuat anda bingung.
Belajarlah melihat potensi unik anak-anak kita, kemudian perkuat sisi keunikan tersebut, ingat anak kita adalah "limited edition" hanya kita yang  paham, jangan pasrahkan ke orang lain.

--> Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana cara mengenali keunikan setiap anak, tanpa membandingkan dg anak yang lainnya?
* Para bunda yang penuh semangat, kita dibekali mata dan hati untuk melihat keunikan anak, pergunakan itu, kemudian tambahkan dengan ilmunya. Pertama amati terlebih dahulu apa yg membuat anak bahagia atau enjoy, catat moment-moment  tersebut. Kemudian amati apakah ada pengulangan? Kalau ya apakah dia merasa "easy" menjalankannya?
Setelah itu,  lihat apakah anak mencapai "excellent" dengan jam terbangnya.
Ada tahapan untuk melihat sisi unik anak. Nanti akan kita bahas khusus ya.

5. Mulailah membuat kurikulum untuk anak-anak kita dengan sederhana, mulai dari aktivitas mereka 0-2 th, 2-7 th.

--> Disini kita perlu memperhatikan materi yang akan diberikan pada anak. Tahapan materi yang  pertama harus kita kuatkan adalah :

a) Fitrah keimanan : iman-akhlak-adab-bicara
b) Fitrah belajar : intellectual curiosity-creative imagination-art of discovery and invention- noble attitude
c) Fitrah bakat : perhatikan 4E activities anak (enjoy, easy, excellent, earn)
d) Fitrah perkembangan : ikuti Cara rasul mengembangkan fisik anak, pola hidup beliau,kemandirian beliau dll
Perkuat bonding anda bersama anak2 di usia 0-7 th ini. Perkuat dengan bahasa ibu dan bermain bersama alam.

Jadi sebaiknya jangan terlalu dini memasukkan anak ke lembaga yang bernama "sekolah"
Ketika sudah memasuki usia sekolah perkaya wawasan anak dg berbagai konsep pendidikan. Ingat "sekolah" itu hanya bagian pilihan dari pendidikan, bukan satu-satunya.

6. Konsep utama HE adalah Iqra' dan thalabul 'ilmi. Jadi urusannya adalah belajar atau tidak belajar bukan sekolah atau tidak sekolah.

--> Lalu dimanakah letak irisan antara HS dan HE, apakah HS sama dengan HE?
* HS itu adalah bagian dari HE. Jadi yang wajib kita lakukan adalah HE dimulai dari dalam kandungan, masa pre aqil baligh dan aqil baligh. Ketika masuk usia sekolah, anak mau memilih sekolah/ Home schooling/komunitas sesuai passion anak itu semua pilihan. Kalau anak memilih sekolah, tugas kita untuk mencari partner lembaga yang cocok dengan konsep HE kita di rumah. Bila tidak cocok saatnya kita swicth dengan yg cocok. Jangan dibalik kita yang pasrah pada konsep sekolah dan mengorbankan HE anak.
* Ijazah? Jangan galau, makin lama anak2 makin dilihat kompetensinya. Saya membuktikan untuk 2 anak saya, mereka kuliah di Singapura tidak diminta ijazahnya, dan sekarang ditawari kerja dimana2 tanpa diminta ijazahnya juga.

------------------------------
Demikian ayah bunda, pemaparan dari SME kita hari ini, semoga memberi manfaat dan terus mencari ilmu untuk kebaikan dunia akhirat.

framework

TERGANTUNG BAGAIMANA KEPALA SEKOLAHNYA

cukup bagus coba deh dibaca hasil copas  TERGANTUNG BAGAIMANA KEPALA SEKOLAHNYA??  by. Bendri  Jaisyurrahman

Untuk kali ini, ijinkan saya bicara kepada ayah dari hati ke hati... Dalam konteks pengasuhan, sekolah pertama bagi anak adalah Ibu. Ibu adalah sekolah pertama dan terbaik bagi anak, krn secara psikologis: Ibu memberikan rasa nyaman bagi anak agar betah berlama-lama di dekatnya, menjadi tempat utk curhat dan diskusi tentang banyak hal terutama menanamkan nilai-nilai agar anak menjadi tangguh menghadapi tantangan kehidupan

.  Sulit bagi Ibu untuk fokus mendidik anak dan membuat mereka nyaman secara psikologis jika ia tidak mendapat dukungan, apalagi jika hanyut dalam perasaannya sendiri dan mudah stress.   Ibu yg stress akan mudah emosi dan kurang sabar menghadapi anak-anak. Inilah gejala awal munculnya 'mother distrust' di mana anak jadi tidak betah di rumah dan merasa bhw Ibu adalah sosok yg tidak mengenakkan.  

Semua fungsi dan tugas Ibu sbg. guru pertama dan utama akan dapat dipenuhi jika peran sbg Kepala Sekolah yg dipikul Ayah berjalan maksimal.  Mother distrust muncul lagi-lagi krn peran ayah sbg. Kepala Sekolah; hilang atau sangat kurang. Ayah lah yg seharusnya berpikir utk membuat anak menjadi betah bersama ibunya, dalam hal ini: apakah kebutuhan psikologis Ibu. Ibu akan bisa memberikan rasa nyaman kepada keluarga jika ruang bathin nya nyaman. Dan.... Ayah-lah yg berkewajiban menyamankan ruang bathin Ibu. Ada ruang dan waktu bagi Ibu utk mencurahkan isi hatinya, misalnya: tidak hanya dibebani oleh pusingnya kenaikan harga2 di luar.  

Menurut penelitian,  perempuan (makhluk berkromosom XX) yg jiwanya sehat butuh mengeluarkan 20 ribu kata per hari.  Ibu yg jarang diajak ngobrol santai oleh suaminya, maka bahasa tubuh dan nada bicaranya tidak mengenakkan. Menyusui anak akan resah, tak sabar dgn kelakuan anak, bahkan cenderung menjadikan anak sbg. sasaran pelimpahan emosi yg tdk semestinya.  Jadi, endapan permasalahan dgn sang ayah dimanifestasikan dlm bentuk amarah yg tidak jelas kepada anak-anak.  Terkadang, ada Ibu yg tetap sabar kepada anak2nya meskipun Ayah tak memberi ruang bagi jiwanya..., tapi manifestasi ekstrim nya dalam bentuk penyakit fisik yg sulit sembuh  Maka tugas wajib ayah adalah memberikan ruang, waktu dan suasana setiap hari bagi Ibu utk bicara sbg. upaya utk selalu menyehatkan jiwanya, mendengar keluh kesahnya. Rangkul Ibu untuk marah dan menangis kepada Ayah saja agar sehat jiwanya, agar Ibu bisa selalu memberikan bunga cinta utk anak-anaknya.

  Ibu yg sehat jiwanya dapat menjalankan tugasnya sebagai sekolah terbaik bagi putra-putri nya.  Ia bisa tahan berjam-jam mendengar keluhan anak2nya. Ia mudah memaafkan anaknya. Ia menjadi madrasah yg baik utk menanamkan nilai-nilai Robbany..., dan hal ini harus didukung oleh ayah yg memperhatikan bathinnya, disamping kesehatan fisiknya. Ibu harus sehat luar dalam.  Ayah yg hebat, berawal dari suami yg hebat, yg mengerti jiwa dan kebutuhan pasangan. Singkatnya, bahagiakan pasangan kita, krn ia adalah madrasah utama bagi anak-anak kita. 

Sumber: Twitter @ajobendri

materi HE 2

Renungan Pendidikan #37

Seorang sarjana ditanya, "mengapa menganggur?", dia menjawab, "karena kemarin wisuda".

Ooo... ternyata dia menganggur tepat sehari setelah selesai menuntut ilmu. Berapa banyak yang demikian? Sangat banyak.

Bahkan ada mahasiswa yang melambat lambatkan kesarjanaannya karena tidak berharap segera bekerja. Alasannya, semakin cepat lulus maka akan semakin cepat dituntut bekerja. Tepatnya mereka tidak siap mandiri secara sosial. Sebagian lagi menuntut ilmu setinggi tingginya lalu tidak pernah kembali lagi ke dunia nyata.

Lihatlah, umumnya skripsi atau tesis dari para sarjana ini adalah karya satu satunya dan terakhir sepanjang hidupnya. Kecuali yang menjadi akademisi, itupun karena umumnya tuntutan karir di kampus. Ternyata para mahasiswa atau "siswa besar" ini melakukan riset dan penelitian sekedar mendapatkan gelar dan ijasah. Berapa banyak yang demikian? Sangat banyak.

Berapa banyak sarjana teladan dengan IP memuaskan bahkan menjadi sarjana terbaik, kemudian memulai karirnya dengan bingung, bekerja asal kerja, diserap pabrik dan perusahaan konglomerat dsbnya lalu galau seumur hidupnya. Berbahagia setiap tiba hari jumat, karena esoknya libur. Dan berbahagia menjelang akhir bulan, karena segera mendapat upah. Sebagian besar hidupnya adalah penderitaan dan survive semata, walau bergaji besar.

Beberapa tahun berselang, seorang ibu yang sangat baik dan perhatian pada anaknya, membuat status di sosial media, tanpa merasa bersalah atau beban apapun, beliau menulis, "....syukurlah anak saya yang hafal alQuran, sekarang sudah lulus dari PTN. Mohon doanya agar segera diterima bekerja".

Apakah kita tidak miris membacanya? Ada apa dengan fitrah belajar yang Allah karuniakan secara luar biasa, namun tidak berujung kepada peran peradaban yang memberi manfaat dan menebar rahmat? Menjadi hafidz dan mampu kuliah di PTN tentunya menjadi manusia yang tidak lagi mencari cari pekerjaan namun justru memberi banyak karya dan solusi bagi masyarakat.

Mungkin ini hanya satu kasus semata, namun sesngguhnya dengan mudah kita dapat melihat bahwa belajar apapun termasuk belajar agama, tanpa tumbuh fitrah belajar yang esensial yaitu melahirkan mental inovator yang relevan dengan realita sosial masyarakat, tanpa relevan fitrah belajarnya dengan fitrah bakat dstnya, maka hanya akan berujung sama, yaitu hanya menjadi beban dan budak peradaban.

Mengapa kita lebih suka membangun kuil kuil, menara menara dan  istana pengetahuan yang tidak berbicara dengan masalah ummat, yang tidak relevan dengan problematika masyarakat sekitar, mencetak pendeta pendeta yang memisahkan diri dari realitas sosial peradabannya.

Inikah maksud dari Tholabul Ilmi? Inikah spirit peradaban belajar yang dimaksud Kitabullah, apabila hanya dimaknakan mengumpulkan ilmu dan pengetahuan sebanyak banyaknya lalu tidak tahu manfaatnya kecuali simbol simbol kesuksesan dan prestise sosial lalu ujung nya hanya menjadi beban peradaban?

Akankah kegemilangan peradaban akan lahir dari generasi yang dididik dengan ukuran kuantitatif pengetahuan seperti di atas? Jujurlah.

Seorang menulis dengan untaian indah, bahwa pengetahuan adalah bukan untuk dikuasai, namun untuk semakin menjadi diri. Pengetahuan ibarat cahaya di dalam ruang yang gelap, dimana kita hanya mampu melangkah pada pendar pendar cahaya itu menuju kesejatian diri kita.

Pendidikan atau Tarbiyah sesungguhnya adalah upaya menumbuhkan potensi fitrah belajar, fitrah bakat, fitrah keimanan dan semua fitrah lainnya. Tujuannya adalah agar semua fitrah itu tumbuh paripurna menuju peran peradabannya sebagaimana telah Allah takdirkan dalam penciptaan fitrah itu.

Seorang ulama menulis, bahwa Allah lah sesungguhnya MuRobby (guru atau penumbuh) manusia, karena Allah swt adalah Robb Yang Menciptakan manusia menurut fitrahnya. Allah paling tahu tentang ciptaanNya. Karenanya siapapun yang mendapat amanah mendidik, wajib hukumnya memahami fitrah dan cara menumbuhkan fitrah fitrah itu.

Maka marilah kita tumbuhkan potensi fitrah belajar anak anak kita dengan banyak memberikan idea dan inspirasi, banyak memberinya kesempatan belajar mandiri, namun hati hati jangan sampai kita jadi dominan, juga hati hati jangan sampai tidak relevan dengan fitrah bakatnya dan fitrah lokalitas alamnya serta fitrah realitas sosial masyarakatnya.

Ujung daripada penumbuhan fitrah belajar ini bukanlah tumpukan ilmu di kepala, bukan tumpukan gelar dan titel, bukan pula "knowledge for knowledge", bukan pula tumpukan penelitian yang tidak relevan apalagi tidak memberi manfaat dsbnya, namun akhir dari pendidikan fitrah belajar ini adalah generasi yang gairah inovasinya menebar rahmat dan manfaat bagi peradabannya.

Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#pendidikanberbasispotensi

materi HE 1

Renungan Pendidikan #36

Pandanglah anak2 kita, para krucil itu ketika mereka berlarian tertawa tawa, menjerit jerit, kadang bertengkar dstnya. Mereka sangat kreatif membuat rumah seperti kapal pecah, mengacak acak tempat tidur, menarik sprei dan sarung bantal, menjungkirbalikan kursi, menarik taplak meja, menempelkan upilnya di dinding sehingga merangkai mozaik yang "keren" dll.

Mungkin tidak ada perabotan yang masih utuh di rumah kita, tidak ada vas bunga yang bertahan lama, tidak ada dinding yang luput dari coretan kreatifnya, tidak ada perabotan dapur yang tidak lecet dan penyok akibat ulahnya, tidak ada benda yang diam, semua benda benda senantiasa berpindah tempat dan susah dicari dstnya. Tidak ada isi lemari yang bisa tersusun rapih, semua di "aduk aduk" tanpa kecuali.

Anak2 kita yang luarbiasa memusingkan dan kadang menyebalkan itu, sesungguhnya adalah khalifah di muka bumi, yang dititipkan kepada kita, hanya bentuk dan ukurannya yang masih kecil saja. Biarkan mereka tumbuh alamiah, jujur apa adanya di hadapan kita. Merekalah tamu peradaban termulia di rumah kita.

Jangan terburu ingin melihat status sholeh anak anak kita dengan melihatnya duduk manis, patuh, diam di tempat dengan rumah yang kinclong bersih. Mereka yang di bawah usia 7 tahun belum punya tanggungjawab moral, jangan perlakukan sebagai orang dewasa. Setelah usia 7 tahun mereka perlahan akan memahami nilai2 kebenaran sebagai bagian dari fitrah keimanannya. Shabar saja dan rileks.

Jangan khawatir, mereka tidak pernah berniat menghancurkan rumah kedua orangtuanya kok, mereka cuma suka belajar sebagai pertanda fitrah belajarnya tumbuh sehat. Pada saatnya, khalifah ini juga tahu nilai nilai, karena sudah Allah tanamkan di dada mereka. Kita cuma perlu rileks dan ridha, syukur dan shabar. Tidak akan lama. Rumah kita akan sepi dan beku sepeninggal tamu peradaban termulia ini.

Karena sesungguhnya para khalifah mini yang suka kita pelototi, marahi mungkin cubiti, atau tanpa sengaja mengamati jeritan2 stres kita akibat ketidakshabaran kita, ketergesaan kita dstnya, adalah ciptaanNya yang disetting sebagai makhluk paling mulia di muka bumi.

Khalifah berukuran mini ini akan menjadi besar kelak, lalu seperti apa khalifah yang lahir dari rumah kita? Khalifah yang menumpahkan darah dan berbuat kerusakan? Atau Khalifah yang menebar rahmat dan perbaikan?

Semua tergantung lisan, mata, telinga, hati dan tangan serta kaki kita, orangtuanya. Fitrah mereka sudah Islam, sudah lurus hanya perlu ditumbuhkan dan dirawat saja. Jangan coba2 merubah fitrahnya, maka mereka akan menyimpang dari takdir perannya, dari panggilan hidupnya.

Sungguh tersimpan dalam renyah tawa dan rengekan tak jelas itu, peran2 peradaban yang sudah ditakdirkan Allah padanya. Tidak ada peran buruk yang Allah takdirkan bagi manusia, kecuali manusia merubahnya. Maka sentuhlah dengan lembut, belailah dengan sholawat, haluskan akhlak kita di hadapan mereka, jangan lukai jiwanya karena akan membuat luka peran peradabannyanya kelak.

Peran peran yang memuliakan manusia dan alam berangkat dari fitrah2 yang dimuliakan tumbuhnya. Sungguh sukses mereka yang memuliakannya.

Kitalah yang diamanahi merawat fitrah anak anak kita, tidak perlu dilebihi dan jangan dikurangi sedikitpun. Jangan gegabah, ingat bahwa mereka, adalah khalifah di muka bumi, hanya bentuknya dan ukurannya masih kecil saja.

Maka rawatlah fitrahnya, karena fitrahnya seperti benih yang perlu dirawat dengan telaten, penuh dekapan cinta, konsistensi yang berangkat dari keshabaran dan optimisme yang berangkat dari kebersyukuran atas potensi fitrah sehingga benih itu akan tumbuh besar bagai pohon yang baik (kaa syajarotu thoyyibah), dimana dahan yang menaungi serta buah yang lezat dari pohon itu adalah peran peradabannya

Sederhana merawatnya  karena semuanya sudah terinstal, namun jika nafsu dan obsesi kita dominan maka urusannya bisa runyam dan fatal. Kalau sudah paham maka hati2lah, pastikan kita selalu bersamanya sampai menjelang aqilbalighnya.

Ingatlah selalu bahwa Allah tidak akan memanggil mereka yang mampu, tetapi Allah akan memampukan mereka yang terpanggil. Maka, temanilah anak2 kita untuk memenuhi panggilan Tuhannya, yaitu peran peradaban spesifik sesuai fitrahnya, maka Allah akan memampukan mereka.

Janganlah menjejalkan kemampuan yang bukan panggilan hidupnya, maka Allah tidak akan pernah memampukannya memikul syariah dan peran peradabannya kelak. Penuhilah juga panggilan Allah kepada kita untuk mendidik mereka, maka yakinlah Allah akan memampukan kita.

Salam Pendidikan Peradaban
#pendidkanberbasispotensi
#pendidikanberbasisfittah dan akhlak